Ekonom Sebut Perlu Pahami Pokok Permasalahan Kemiskinan di DIY

1 min read

KADIN DIY – Persoalan kemiskinan di Yogyakarta sempat menjadi trending topik beberapa waktu lalu. Yogyakarta disebut provinsi termiskin se-pulau Jawa berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022 yang dirilis pada awal Januari 2023 lalu.

Persoalan label kemiskinan itu pun jadi bahan sorotan, tak cuma masyarakat biasa saja bahkan kalangan dari dunia pengusaha juga turut mempertanyakan solusi dari hal tersebut. Dalam Business Meeting dan Eksposisi Rapimda KADIN DIY 2023, Wakil Ketua Umum Bidang Humas dan Informasi, Jacky Latupeirissa menyebut bahwa pelaku usaha tentunya punya peran dalam menanggapi persoalan kemiskinan tersebut. 

“Beberapa bulan lalu jogja termasuk angka kemiskinan tertinggi itu solusinya bagaimana? Kita sebagai pelaku usaha dan sebagai pengusaha semestinya harus mencari solusi supaya tidak ada bahasa (termiskin) itu,” ungkapnya, Jumat (3/3/2023).

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia DIY, Amirullah Setya Hardi membeberkan bahwa isu tersebut harus dilihat dari berbagai sisi. Dia menyebut secara de jure, Jogja disebut provinsi termiskin namun secara de facto tidak demikian.

Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia DIY, Amirullah Setya Hardi dalam diskusi Rapimda KADIN DIY 2023. Foto: KADIN DIY

“Saya kira ada dua hal perlu kita lihat secara de facto dan de jure. De jure memang indikator yang ada mungkin kita memang dinilai miskin tapi de factonya kita mungkin tidak karena orang miskin tidak akan mungkin bisa kreatif, dia tidak akan mungkin bisa punya fight untuk berusaha,” kata Amirullah.

Menurut dia hal tersebut bisa kontradiktif jika melihat dari alat ukur yang digunakan untuk menilai aspek kemiskinan itu sendiri. Dia menyebut jika dari indikator penilaian pendapatan dan pengeluaran, wajar saja jika Jogja dinilai sebagai provinsi termiskin. Namun jika dilihat dari sisi lain, seperti dalam halnya indeks kebahagiaan, tidak menyatakan demikian.

“Apa yang salah? Mungkin sesuatu yang digunakan alat ukurnya. Kalau kita menggunakan aspek multidimensional ada yang kontradiktif. Kita miskin iya, kita timpang iya, tapi kalau lihat dadi PM, kita nomor 2, happiness kita tinggi artinya kita tidak layak dikatakan miskin. Mungkin (miskin) by indicator iya karena indikator cuma dilihat dua dari pendapatan dan pengeluaran,” bebernya.

“Jadi bukan pesimis, saya kira kita pahami dulu permasalahannya apa. Kalau terkait masalah indikator, mari kita perbaiki itu tapi secara esensial,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *